Disadur dari SUARA MUHAMMADIYAH — Jumlah PTM dan PTA sudah mencapai 177, baik yang berbentuk universitas, sekolah tinggi, maupun akademi. Jumlah ini sungguh sangat membanggakan, karena tidak ada di dunia ini organisasi sosial yang mampu berkontribusi sebesar itu. Jumlah itu belum termasuk lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah yang sedang bermunculan di banyak tempat. Perkembangan yang sangat signifikan di usia Muhammadiyah yang menapaki abad keduanya.
Perkembangan yang membanggakan ini tidak boleh melupakan untuk selalu memperbaiki dan mengembangkan ke depan. Mengapa pengembangan itu penting? Adalah karena tantangan sudah sangat berat, baik tantangan internasional, Asia, nasional, maupun internal. Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, “tantangan ini sudah di depan mata, PTM tidak dapat menghindar.” Sebut saja, misalnya, tantangan global sudah sedemikian besar, di mana bukan hanya kebutuhan dunia kerja yang makin menuntut profesionalitas tinggi tetapi ditambah lagi dengan tuntutan penguatan universitas yang berkelas dunia. Bagaimana agar universitas memiliki kualitas yang mampu bersaing dengan perguruan tinggi internasional.
Tantangan ini makin jelas ketika mulai diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Hadirnya MEA, mau tidak mau, mengantar semua negara di wilayah Asean mengubah kebijakan ekonominya. Ini karena semua negara di Asean dapat melakukan aktivitas ekonomi di wilayah ini sebagaimana beraktivitas di negaranya sendiri. Prof Edy Suandi Hamid, anggota Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, mengatakan bahwa MEA ini secara bertahap dan “secara eksplisit membuka persaingan bebas (liberalisasi) di bidang jasa dan tenaga kerja profesional”. Pintu Asean sudah dibuka sedemikian luas dan bebas, sehingga menuntut masyarakat mengikuti irama tersebut, termasuk juga perguruan tinggi.
Salah satu contoh sudah berlangsungnya MEA ini adalah sudah banyaknya tenaga profesional dari warga negara Asean yang bekerja di Indonesia. Prof Drs HA Malik Fajar, MSc, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), memberikan contoh, “sekarang sudah banyak tenaga kerja dari Korea, Malaysia, dan beberapa negara lain di Yogyakarta.” Melihat ini, sudah saatnya PTM mempertimbangkan hal ini. PTM dan PTA perlu menyiapkan untuk mengembangkan diri dalam menyiapkan mahasiswa dapat berbuat banyak dalam kondisi itu.
Di pihak lain, pemerintah sepertinya kurang memperhatikannya. Hal ini tampak pada kebijakan-kebijakan pendidikan tingginya yang kurang memberi ruang bergerak kepada universitas. Lebih jauh lagi, Kemenristekdikti tidak fair dalam melihat perkembangan perguruan tinggi. Kepentingan golongan masih dijadikan pertimbangan utama daripada mempertimbangkan kualitas dan kesiapan sebuah perguruan tinggi.
Dalam konteks ini, banyak PTM/PTA yang mengalami hambatan, di mana penerapan kebijakan yang sedang berjalan sekarang tidak adil dan sama sekali tidak mempertimbangkan kualitas dan kesiapan. Belum lagi, menurut Azyumardi Azra, sadar atau tidak, pemerintah ini sedang melakukan “Kolonialisasi, intimidasi, dan regimisasi pendidikan tinggi.” Pemerintah tidak cukup baik dalam membuat kebijakan terkait pendidikan tinggi.
Di luar tantangan tersebut, perguruan tinggi menghadapi tantangan abad ke-21, tuntutan pasar sangat kuat, di mana perguruan tinggi sudah sangat banyak di Indonesia. Semakin banyak pilihan dalam menentukan perguruan tinggi. Artinya, perguruan tinggi dituntut memperkuat internal untuk mampu berdaya saing, yaitu dengan memperkuat kualitas internal. Di samping itu, diharapkan juga masukan-masukan dan terobosan-terobosan dalam menjawab persoalan masa kini.
Lantas, bagaimana posisi PTM dan PTA dalam tantangan tersebut? Kita mengetahui bahwa perkembangan dunia ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena ilmu pengetahuanlah Revolusi Inggris dan Revolusi Prancis mampu mengubah mindset Eropa dan kemudian dunia. Oleh karena itu, menurut Dr Chairil Anwar, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, “selain mengembangkan kuantitas, PTM dan PTA mesti mengembangkan penelitian.” Dalam istilah lain, Azyumardi Azra mengatakan bahwa PTM dan PTA perlu melakukan transformasi dari teaching institution (lembaga pendidikan) menjadi research institution (lembaga penelitian).
Kuantitas PTM dan PTA masih kurang seiring dengan kualitasnya. Tidak banyak PTM dan PTA yang berkualitas, kuat, dan berdaya saing dengan PTS, PTN, dan perguruan luar negeri. Belum lagi bila melihat tantangan-tantangan di atas, baik dalam lingkup persoalan nasional, tingkat perkembangan industri dan bisnis di Asean, maupun perkembangan pendidikan tinggi di dunia internasional. Posisi PTM dan PTA dituntut menawarkan terobosan cemerlang dalam menjawab tantangan tersebut.
Layak diperhatikan bahwa PTM dan PTA sedang berada dalam posisi yang amat krusial. Satu sisi, tantangan mengembangkan diri secara internal tidak berarti melupakan tantangan eksternalnya, di sisi yang lain. Bahwa tuntutan modernitas makin jelas meletakkan posisi PTM dan PTA. Mengembangkan kurikulum dan memperbaiki manajemen organisasi mesti disinkronkan atau disesuaikan dengan tantangan zaman.
Dalam tantangan dan posisi itulah PTM dan PTA mesti memfokuskan perhatiannya. Sebagai AUM garda depan di tubuh Persyarikatan, PTM dan PTA diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut dengan cerdas. Hal ini karena pikiran-pikiran dari lembaga pendidikan tinggi tersebutlah Muhammadiyah akan menyandarkan analisa terhadap persoalan dan sekaligus menjawab suatu persoalan. PTM dan PTA sudah memberikan kontribusi besar terhadap Persyarikatan. Oleh karena itu, PTM dan PTA mesti selalu berikhtiar menjadi perguruan tinggi yang kuat, berdaya saing, dan berkemajuan. Kuat dalam meneguhkan eksistensinya dan mandiri, mampu bersaing dengan perguruan tinggi internasional, dan akhirnya akan menjadi perguruan tinggi yang berkemajuan.