Tanggal 30 September dikenang dalam sejarah Republik Indonesia sebagai hari kelam. Pada tanggal itu di tahun 1965 Partai Komunis Indonesia disebut-sebut berupaya mendominasi kekuasaan pemerintahan. Tidak kurang dari sembilan perwira TNI diculik atau dianiaya kemudian dibunuh. Jasad mereka dibuang di sebuah sumur di Lubang Buaya.
Peristiwa itu didalangi oleh pasukan Cakrabhirawa, yaitu pasukan pengawal presiden yang anggotanya banyak disusupi paham komunis. Di antara tiga elemen TNI, angkatan darat merupakan elemen yg paling kritis dengan PKI sehingga dianggap penghalang bagi terwujudnya cita-cita PKI menguasai Indonesia.
Sejarah G30S akhir-akhir ini mulai dipertanyakan khususnya pada perspektif siapa sebenarnya di balik peristiwa tersebut dan mengapa dilakukan saat itu. Sejarah yang ditulis pemerintahan orde baru menyebut bahwa peristiwa itu merupakan perintah langsung dari komite sentral PKI. Kesehatan bung Karno yang memburuk membuat khawatir PKI terkait dukungan politik pemerintah terhadap berbagai aktivitas dan rencana PKI. Di sisi lain muncul teori konspirasi yang menyebut adanya penunggang dalam peristiwa ini dan adanya campur tangan asing yang ingin mendapat konsesi dari sumber daya Indonesia.
Terlepas dari perbedaan versi sejarah tersebut, kita tentu saja harus mengembangkan sikap kritis dalam membaca sejarah. Kita perlu juga membedakan mana yang merupakan fakta dan peristiwa dengan opini dan hasil analisa.
Berbagai fakta (yang tentu saja dibumbui opini) tentang peristiwa G30S telah dicoba diangkat dalam setidaknya dua film. Film pertama berjudul G30S/PKI dan ditayangkan secara luas di bioskop di tahun 80an. Film kedua merupakan film dokumenter pendek berjudul Senyap yang disebarkan melalui media sosial dan oleh para aktivis mahasiswa atau LSM.
Kedua film berupaya menceritakan kembali peristiwa yang dialami person yang ditokohkan. Pada film Pengkhianatan PKI, cerita difokuskan pada tokoh TNI yang menjadi korban kebiadaban PKI. Sedangkan pada film Senyap, cerita difokuskan pada ‘tokoh’ kalangan anak eks-PKI yang menjadi korban kekerasan sipil pasca peristiwa G30S.
Pada film Pengkhianatan PKI, tokoh dimainkan oleh artis berdasarkan cerita dari keluarga korban, sedangkan pada film Senyap, tokoh diperankan langsung oleh ‘korban’ dalam konsep cerita pencarian kebenaran terkait peristiwa yang dialami keluarga.
Sayangnya kedua film tidak cukup menyajikan latar belakang peristiwa yang terjadi sejak belasan tahun sebelumnya. Berbagai peristiwa teror yang dilakukan PKI terhadap lembaga pemerintah daerah dan tokoh ulama di daerah. Ribuan korban telah jatuh sebelumnya. Bahkan di negara lain, pemegang ideologi komunis menelan jauh lebih banyak korban, tercatat jutaan manusia mati sia-sia karena ambisi penegakan ideologi yang pada akhirnya terbukti gagal menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Rujukan:
- Wikipedia, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, dilihat 30 Sept 2015.
- Wikipedia, Senyap, dilihat 1 Okt 2015.
- Courtois, S., & Kramer, M. (1999). The black book of communism: Crimes, terror, repression. Harvard University Press.
- Salahuddin Siregar, Bisakah Senyap Dipercaya?, dilihat 1 Okt 2015